Gutama • Oct 30 2025 • 47 Dilihat

Dalam gempuran logika pasar yang semakin masif, ruang perguruan tinggi tidak lagi steril dari arus kapitalisasi. Sampai-sampai pergeseran nilaipun turut mengguncang fondasi identitas akademik, di mana peran dosen mengalami transformasi mendasar menyentuh dimensi paling dalam dari profesionalitas dan moralitasnya. Lebih lugas, Perguruan Tinggi kini tidak semata menjadi ruang akademis (ilmu pengetahuan), melainkan medan persaingan institusional tempat mahasiswa, dana, dan reputasi berubah menjadi komoditas yang harus dikelola dan diperebutkan. Adanya lanskap semacam ini, dosen tidak hanya hadir sebagai pengajar atau peneliti, tetapi juga sebagai wajah institusi yang turut berperan dalam logika pasar, terlibat dalam promosi, branding, dan mekanisme pemasaran yang sebelumnya dianggap asing dari dunia akademik itu sendiri.
Tentunya, transformasi ini menciptakan ketegangan eksistensial yang kompleks. Ketika dosen aktif dalam kegiatan promosi penerimaan mahasiswa baru (PMB), dosen secara sadar maupun tidak sedang menegosiasikan ulang makna keberadaannya, dari ilmuwan yang otonom menjadi bagian dari mekanisme pasar institusional. Terilhami ungkapan Bourdieu, situasi ini dapat dibaca sebagai benturan antara habitus keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai kebenaran, kebebasan berpikir, dan etos akademik dengan medan (field) komersial yang digerakkan oleh logika efisiensi, kompetisi, dan profitabilitas. Dimana Dosen berada dalam ruang liminal satu kaki berpijak di dunia ideal akademia, dan kaki lainnya terseret dalam pusaran pragmatisme ekonomi pendidikan.
Paradoks ini semakin tampak ketika dosen “dipaksa” Universitas bersaing dalam pasar pendidikan global. Harry Targ, dalam karyanya The Crisis of Higher Education in the Era of Neoliberal Globalization, meyatakan bahwa yang dinamakan krisis pendidikan tinggi yakni tekanan untuk meningkatkan jumlah mahasiswa dan pendapatan tetapi berbanding terbalik dengan upaya menjaga kualitas akademiknya. Persaingan untuk memperoleh pelanggan (mahasiswa) dengan menjadikan dosen bagian dari sistem pemasaran yang mengutamakan citra dan kuantitas, bukan semata substansi dan kualitas ilmu tetapi “akademisi sebagai Homo economicus”.
Berkiblat pada kerangka Pierre Bourdieu, habitus, kapital, dan field kita dapat memahami dosen telah memainkan peran ganda. Habitus dipahami sebagai disposisi yang tertanam melalui pengalaman sosial historis: misalnya, bagaimana seorang dosen dibentuk oleh tradisi akademik, studi tinggi, orientasi keilmuan. Kapital yang dimaknai bukan hanya modal ekonomi, tetapi modal budaya (keilmuan, kredibilitas), sosial (jaringan), dan simbolik (penghormatan). Field sebagai medan sosial di mana agen (dosen) dan struktur saling berinteraksi, “kampus” sebagai institusi akademik plus institusi pemasaran pendidikan. Sehingga ketika dosen terlibat dalam promosi mahasiswa baru (PMB), maka dosen bergeser dari medan ilmu pengetahuan ke logika kuota, persaingan, strategi branding. Disinlah Henry Giroux menyebut, esensi pendidikan tinggi tidak lagi terletak pada upayanya untuk membentuk manusia yang utuh, berpengetahuan dan berdaya cipta yang mampu berpikir kritis, bertanggung jawab, serta berkontribusi bagi kemajuan peradaban tetapi sebagai institusi komoditas, komersialisasi yang diperdagangkan.
Kondisi ini bukan blok eksistensial melainkan medan negosiasi yang penuh dinamika. Lebih spesifik, Dosen tidak menjadi objek pasif system ia memiliki kapasitas agen untuk menegosiasikan kembali perannya. Dosen dapat menggunakan kesadaran kritis terhadap kondisi institusi untuk mereposisikan aktivitas promosi sebagai bagian dari pengabdian keilmuan misalnya dengan menekankan kualitas akademik program, integritas riset, kontribusi masyarakat sehingga promosi menjadi ekspresi akademik bukan sekadar pemasaran. Dosen mampu “bertahan” dalam sistem neoliberal tanpa sepenuhnya menjadi agen logika pasar. Misalnya dosen dapat memelihara habitus keilmuan sekaligus beradaptasi dengan tuntutan institusi bukan sebagai korban, melainkan sebagai aktor strategis. Selain itu, dosen dapat mengubah aktivitas promosi menjadi kesempatan untuk memperkuat modal budaya dan simbolik. Misalnya membangun narasi keunggulan riset, publikasi internasional, serta reputasi program studi. Melalui itulah, keterlibatan dalam promosi bukan pengabaian identitas, melainkan ekstensi dari identitas akademik dalam medan baru.
Sebagai penutup jika seorang Dosen yang terlibat dalam promosi penerimaan mahasiswa baru (PMB), ke sekolah-sekolah atau lainnya, itu merupakan kontradiksi eksistensial. Kontradiksi ini bukan sekadar persoalan fungsi administratif, melainkan tanda pergeseran makna eksistensi akademik. Dosen tidak lagi sepenuhnya menjadi subjek pengetahuan yang otonom, tetapi menjadi agen representasi institusi yang beroperasi dalam arena kompetisi kapital simbolik memasarkan reputasi, menjual citra, dan menegosiasikan nilai dalam “pasar”. Dititik inilah, dunia akademik menghadapi paradoksnya antara idealisme keilmuan dan pragmatis lembaga.
By. Nur Kholik
Referensi
Boliver, V. (2025). The hyper-commodification of higher education in England: a cross-national comparative perspective. Higher Education. https://doi.org/10.1007/s10734-025-01459-3
Bourdieu, P. (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press.
https://doi.org/10.1017/CBO9780511812507
Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. Stanford University Press.
Giroux, H. A. (2002). Neoliberalism, corporate culture, and the promise of higher education: The University as a democratic public sphere. Harvard Educational Review, 72(4), 425–463.
https://doi.org/10.17763/haer.72.4.0515nr62324n71p1
Harry Targ, The Crisis of Higher Education in the Era of Neoliberal Globalization https://doi.org/10.1163/15691497-12341545
Irlina, A. (2024). Commercialization of Higher Education: Challenges of the Technology 4.0 Era (case studies and analysis). SELTIcs / Indonesian Journal. https://ejournals.umma.ac.id/index.php/seltics
Marques, R. M. G. (2024). Academic identities and higher education change: a review of evidence. Educational Research / Journa. lhttps://doi.org/10.1080/00131881.2024.2334760
McLaughlin, S. (2024). Using Bourdieu’s concept of habitus to explore higher education decision-making. Higher Education Studies / Journal. https://doi.org/10.1080/02660830.2024.2374617
Mintz, B. (2021). Neoliberalism and the crisis in higher education: the cost of commodification. Asia Pacific Journal of Education / Studies. https://doi.org/10.1111/ajes.12370
Morley, C. (2024). The systemic neoliberal colonisation of higher education. Higher Education Research & Development. https://doi.org/10.1080/00131881.2024.2334760
Jumlah pengunjung : 61 Warta Pendidikan Jogja — Dua organisasi mahasiswa dari kampus ternama, Bada...
Jumlah pengunjung : 65 Warta Pendidikan Jogja — Pemerintah resmi mengintegrasikan pendekatan pembe...
Jumlah pengunjung : 86 Warta Pendidikan Jogja — Kasus keracunan makanan yang menimpa ratusan siswa...
Jumlah pengunjung : 164 Siti Aminah, M.Pd., dosen Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Yogyaka...

Warta pendidikan jogja - Portal berita positif yang menyajikan informasi terkini tentang fakta dunia pendidikan dan edukasi
Follow Our Twitter

No comments yet.