Warta Pendidikan Jogja – Mudik atau pulang kampung, merupakan tradisi yang sangat berakar dalam masyarakat Indonesia, terutama saat perayaan hari raya Idul Fitri. Dalam perspektif Islam, mudik lebih dari sekadar tradisi; ia memiliki nilai spiritual yang mendalam dan mencerminkan sejumlah ajaran Islam. Silaturahmi atau menjalin hubungan baik dengan keluarga dan kerabat, adalah salah satu aspek penting dalam Islam. Hal ini sudah tercantum dalam Al-Quran dan Hadist.
Allah SWT berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُخْتَالِينَ فَخُورًا
Artinya: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Surat An-Nisa ayat 36)
Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan (sisa) umurnya, maka sambunglah (tali) kerabatnya.” (H.R. Bukhori)
Mudik menjadi kesempatan emas untuk mempraktikkan silaturahmi, memperkuat tali persaudaraan, dan memperbaharui ikatan sosial yang mungkin renggang sepanjang tahun. Selain itu, mudik juga mengajarkan tentang kesederhanaan dan kesabaran. Perjalanan mudik yang sering kali panjang dan melelahkan menjadi sarana untuk melatih kesabaran dan ketabahan. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya sabar dalam menghadapi cobaan. Dalam konteks yang lebih luas, mudik juga mencerminkan nilai kebersamaan dan kepedulian. Saat mudik, banyak orang yang berbagi dengan sesama, baik itu dalam bentuk materi maupun non-materi. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk saling membantu dan berempati terhadap sesama.
Mudik juga memiliki dimensi ekonomi dalam Islam. Dengan pulang kampung, seseorang dapat membantu perekonomian daerah asalnya melalui berbagai transaksi yang terjadi selama mudik. Ini merupakan refleksi dari konsep ekonomi Islam yang berbasis pada keadilan dan kesejahteraan bersama. Namun, pulang kampung dalam Islam tidak hanya sekadar pulang ke kampung halaman. Ia juga memiliki dimensi spiritual yang kuat. Mudik menjadi momen introspeksi diri, memperbaiki hubungan dengan Allah SWT dan sesama manusia. Ini adalah waktu untuk memaafkan dan meminta maaf, membersihkan hati dari dendam dan iri hati, serta memulai lembaran baru dengan semangat yang lebih baik. Dalam praktiknya, mudik harus dilakukan dengan tanggung jawab. Islam mengajarkan untuk tidak berlebihan dan selalu menjaga keseimbangan. Oleh karena itu saat mudik, seseorang harus memastikan bahwa ia tidak menyia-nyiakan sumber daya atau menyebabkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain.
Secara kesegluruhan, mudik dalam perspektif Islam adalah manifestasi dari berbagai ajaran Islam yang saling terkait. Dari menjaga hubungan sosial hingga memperkuat ekonomi umat, pulang kampung adalah tradisi yang kaya akan nilai dan makna. Tradisi ini tidak hanya menguatkan identitas keislaman, tetapi juga identitas keindonesiaan, yang kaya akan keragaman budaya dan tradisi. Semoga artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang mudik dalam perspektif Islam dan bagaimana tradisi ini dapat menjadi sarana untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menjadi jembatan yang menghubungkan nilai-nilai agama dengan praktik budaya lokal yang telah lama ada. Mudik bukan hanya tentang kembali ke tempat asal, tetapi juga tentang kembali ke nilai-nilai dasar yang membentuk kita sebagai umat manusia dan sebagai umat Muslim.