Sertifikasi Halal: Pilar Moralitas Bisnis Modern

Sertifikasi Halal: Pilar Moralitas Bisnis Modern

Warta Pendidikan Jogja-Di era globalisasi, sertifikasi halal telah menjadi Pilar Moralitas Bisnis Modern. Selain memastikan kehalalan produk, sertifikasi ini mencerminkan etika dan keberlanjutan usaha. Sertifikasi ini mendukung kepatuhan terhadap hukum Islam pada makanan, minuman, dan berbagai produk lainnya, sekaligus menjadi bagian integral dari strategi bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial.

Menariknya, konsumen produk halal tidak terbatas pada negara-negara mayoritas Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa produk halal dapat diterima oleh masyarakat dari berbagai latar belakang agama. Sertifikasi halal menawarkan jaminan atas keamanan, kebersihan, transparansi, dan etika dalam setiap proses produksi hingga distribusi, menjadikannya pilihan yang semakin diminati.

Evolusi Regulasi Sertifikasi Halal Pilar Moralitas Bisnis Modern

Perjalanan regulasi sertifikasi halal di Indonesia dimulai dengan pelabelan produk yang mengandung babi melalui Permenkes No. 280/Men.Kes/Per/XI/1976. Selanjutnya, SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 42/Men.Kes/SKB/VIII/1985 memperkenalkan kewajiban pencantuman label halal pada produk makanan. Momentum penting lainnya adalah pendirian LPPOM MUI pada 1989, berdasarkan SK MUI No: Kep./18/MUI/I/1989, yang berfokus pada proses pemeriksaan dan sertifikasi halal.

LPPOM MUI menjadi pelopor dalam menetapkan kehalalan produk berdasarkan fatwa MUI. Kini, tanggung jawab sertifikasi halal juga diemban oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), yang bertugas menerbitkan sertifikat halal sesuai dengan regulasi negara.

Keberadaan sertifikasi halal tidak terlepas dari temuan penting Dr. Ir. Tri Susanto dari Universitas Brawijaya pada 1988. Penelitiannya mengungkapkan adanya kandungan lemak babi pada beberapa produk makanan dan minuman. Untuk merespons keresahan masyarakat, LPPOM MUI didirikan sebagai langkah preventif pada 6 Januari 1989.

Mengapa Sertifikasi Halal Diperlukan?

Meskipun beberapa pelaku usaha beranggapan bahwa produk mereka secara alami sudah halal, sertifikasi formal tetap penting. Berbagai kasus pelanggaran seperti penggunaan bahan tidak halal pada kecap (2001), pasta babi di restoran Jakarta (2003), hingga pemalsuan daging sapi dengan daging babi di Bandung (2020) menunjukkan perlunya jaminan formal melalui sertifikasi halal.

Tindakan kecurangan yang mengejar keuntungan instan sering kali mengorbankan kepercayaan konsumen dan melanggar prinsip etika bisnis. Sertifikasi halal berperan penting dalam menjaga integritas pasar sekaligus memberikan perlindungan bagi konsumen. Hal ini juga mencerminkan tanggung jawab moral pelaku usaha terhadap Tuhan dan konsumennya.

Transparansi: Kunci Keberlanjutan Bisnis

Prinsip transparansi telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW melalui kejujuran dalam menjual barang tanpa mengurangi timbangan. Dalam bisnis modern, transparansi tetap menjadi elemen utama yang membangun loyalitas konsumen dan keberlanjutan bisnis.

Penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang mengutamakan transparansi cenderung memiliki performa lebih baik dan hubungan jangka panjang yang positif dengan pelanggan. Dengan meneladani kejujuran Rasulullah, bisnis modern tidak hanya dapat memaksimalkan keuntungan tetapi juga mempertahankan nilai-nilai etika dan religiusitas.

Peran Regulator dan Tantangan Sertifikasi Halal

BPJPH sebagai regulator memiliki tanggung jawab besar dalam membangun ekosistem halal yang terintegrasi. Hal ini mencakup kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan organisasi keagamaan untuk memastikan seluruh rantai produksi memenuhi standar halal yang ketat.

Sosialisasi dan edukasi kepada pelaku usaha, terutama UMKM, menjadi prioritas. Pelatihan bagi Juru Sembelih Halal (Juleha) juga harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa proses penyembelihan hewan sesuai syariat Islam. BPJPH bahkan dapat memberikan sertifikasi gratis bagi Juleha sebagai bagian dari strategi peningkatan standar halal.

Beberapa tantangan dalam sertifikasi halal, seperti biaya tinggi dan kurangnya pemahaman, dapat diatasi melalui pendekatan strategis. Program akselerasi seperti “10 juta sertifikasi halal” oleh BPJPH merupakan langkah positif untuk memperluas cakupan sertifikasi. Pemanfaatan teknologi digital juga penting untuk menyederhanakan proses sertifikasi dan memperluas akses informasi bagi pelaku usaha.

Peluang Produk Halal di Pasar Global

Menurut laporan “Dinar Standard” berdasarkan SGIE, umat Islam global diperkirakan akan membelanjakan USD 2,8 triliun pada 2025 untuk kebutuhan makanan, kosmetik, obat-obatan, fesyen, perjalanan, dan media, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 7,5%. Peluang besar ini membuka pintu bagi produk halal Indonesia untuk bersaing di pasar internasional.

Kerja sama dengan badan sertifikasi halal global melalui Mutual Recognition Agreement (MRA) menjadi langkah strategis untuk meningkatkan pengakuan produk halal Indonesia. Dengan memanfaatkan teknologi digital, proses sertifikasi dapat dilakukan lebih cepat dan efisien, sehingga meningkatkan daya saing produk halal Indonesia.

Baca Juga : Produk UMKM Indonesia dengan Peluang Ekspor ke Inggris: 5 Produk Potensial yang Harus Anda Ketahui

Kesimpulan

Sertifikasi halal bukan sekadar tanda kehalalan, tetapi juga wujud komitmen terhadap praktik bisnis yang etis dan berkelanjutan. Dalam dunia bisnis modern, sertifikasi ini menjadi alat untuk membangun kepercayaan konsumen, memperluas pasar, dan menciptakan nilai keberkahan. Dengan terus mengedepankan transparansi, integritas, dan kolaborasi, sertifikasi halal akan menjadi pilar penting dalam pengembangan ekonomi berbasis nilai di era global.

Author : 

Referensi : https://www.ekonomisyariah.org/blog/2024/09/06/sertifikasi-halal-dan-moralitas-bisnis-di-era-modern/

Sumber Gambar : https://www.freepik.com/free-photo/quality-control-improvement-development-concept_18665211.htm#fromView=search&page=1&position=22&uuid=34a04f4d-9933-4605-aff9-7da6a9493105&new_detail=true